Wednesday, February 6, 2013

Adakah Yang Salah Pada Konsep PPT atau E3 di Proyek Konstruksi Sipil? (Bag. 2)

Setelah pada Bagian 1 menjelaskan konsep pendidikan pada PPT ini yang menyimpang dan mengakibatkan kurangnya mutu dari hasil pekerjaan konstruksi, kali ini saya akan membahas sedikit mengenai konsep Pengaturan (Pemaksaan) yang berkaitan dengan dunia konstruksi sipil. Pada bahasan kali ini saya lebih menitik beratkan pada proses penerapan di lapangan dan bagaimana seharusnya konsep Pengaturan atau Pemaksaan ini diterapkan.

2. Pengaturan/Pemaksaan (Enforcement)

Pernahkah anda mendengar ungkapan "Peraturan dibuat untuk dilanggar"? Saya yakin sekali pasti anda semuanya tidak asing dengan ungkapan ini. Apabila ungkapan tersebut menjadi pembenaran di benak anda, maka tidak heran kalau anda menjadi salah satu penyebab hancurnya bangsa ini. Jika dikaji dari sudut dunia konstruksi sipil, saya membagi konsep ini menjadi 3 (tiga) variabel, yaitu: Peraturan (regulasi), Sanksi (denda), dan Aparat Penegak Hukum.
1. Peraturan (Regulasi)
Peraturan adalah suatu produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh suatu pemimpin organisasi/badan hukum yang sifatnya mengikat, mengatur, dan memaksa. Seiring berjalannya waktu, peraturan tentang pengadaan barang dan jasa mengalami perubahan dan perbaikan. Termasuk di dalamnya jasa konstruksi, Perpres No.70 Tahun 2012 yang merupakan perubahan dari Perpres No.54 Tahun 2010 menjadi sandaran regulasi utama bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa. Penyempurnaan-penyempurnaan terus dilakukan dengan berbagai pertimbangan atas masalah yang timbul sesuai kondisi dan situasi yang terjadi di Negara ini. Selain Perpres, kita juga mengenal dengan Spesifikasi Teknis yang terus berevolusi tiap tahunnya dengan berbagai revisi. Spesifikasi Teknis ini menjadi acuan utama bagi perencana dan pelaksana lapangan khususnya dalam pekerjaan konstruksi sipil. Selanjutnya ada juga SNI (Standar Nasional Indonessia) yang diterapkan sebagai standarisasi mutu yang berlaku di Indonesia. Kemudian ada juga yang kenal sebagai Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) termasuk RPK3K yang digunakan untuk pelaksanaan di lapangan.
Selain dari berbagai jenis peraturan di atas, kita juga mengenal pula regulasi yang dikeluarkan oleh pihak terkait yang menjelaskan aturan-aturan demi keamanan, kelancaran, ketertiban, dan kenyamanan bagi seluruh komponen masyarakat, seperti Peraturan Lalu Lintas, Peraturan Tata Niaga, Hukum Pidana dan Perdata, dan peraturan-peraturan lainnya yang disesuaikan dengan tujuannya. Dari sekian banyak peraturan atau regulasi yang ada, tentunya kita semua memiliki harapan bahwa setiap pihak yang terlibat di dunia konstruksi sipil memiliki dasar dan payung hukum dalam melaksanakan pekerjaannya. Bagi regulator dan penegak hukum (baik dari unsur pemerintah atau bukan), dengan adanya peraturan ini mereka dapat mengambil tindakan apabila terjadi pelanggaran sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Dengan demikian, masyarakat selaku pengguna tidak merasa dirugikan di kemudian hari.
2. Sanksi (Denda)
Biasanya, peraturan yang dibuat dan dikeluarkan juga disertai sanksi apabila peraturan tersebut tidak dilaksanakan atau dilanggar. Sanksi yang diberlakukan berupa hukuman yang diterima orang perseorangan, kelompok, hingga organisasi/badan usaha yang memiliki badan hukum maupun tidak. Sanksi ini dapat berupa hukuman kurungan badan (pidana) atau berupa denda hingga pencabutan izin usaha (perdata). Tentunya sanksi ini dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan. Kadangkala, sanksi yang diberikan dirasa "terlalu ringan" atau bahkan tidak sesuai dengan sebagai mana tercantum pada peraturan atau undang-undang yang berlaku. Tidak sedikit yang mengaggap bahwa hukum di Indonesia ini sangat lemah, karena masyarakatnya sendiri tidak takut dan tidak patuh terhadap hukum yang berlaku karena dilihat dari jenis sanksi atau hukuman yang biasanya diterapkan, terlalu ringan. Selain itu, sanksi ini "sedikit ketinggalan jaman" dan kurang sesuai mengenai jenis dan besarnya hukuman yang akan ditimpakan kepada oknum yang bersalah, terlebih lagi bila yang bersalah adalah "orang berduit" dan "orang berpengaruh". Hal ini yang sering dimanfaatkan bagi oknum di dunia konstruksi untuk mengurangi besarnya hukuman bahkan mengelak dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Sebagai contoh, Kasus Hambalang (Konstruksi Pembangunan Tempat Pemusatan Latihan Atlet) yang merugikan negara triliyunan rupiah, koruptornya hanya dijerat hukuman tidak sampai 5 tahun, sedangkan pencuri sendal Kapolri atau nenek yang mengambil pepaya di kebun PTPN dituntut lebih dari itu. Seharusnya Indonesia berani berani menerapkan sanksi yang berat bagi koruptor seperti di Cina
3. Penerapan di Lapangan
Untuk menjelaskan penerapan peraturan di lapangan, berikut sedikit ulasan saya berdasarkan pengalaman saya berkecimpung di dunia konstruksi:
a. Ketika Proses Tender;
Telah menjadi rahasia umum bahwa sering terjadi penyimpangan pada proses tender proyek konstruksi yang diselenggarakan Kementerian Pekerjaan Umum melalui Dinas Bina Marga, Cipta Karya, atau Sumber Daya Air di daerah (contohnya di daerah saya, propinsi Aceh, saya kurang tahu di propinsi lainnya). Sebelum tender diumumkan ke publik (itu pun kalau di umumkan), ada oknum dari dinas yang telah menghubungi penyedia jasa mengenai rincian tender. Tidak jarang pula langsung menetapkan pemenang tender meski tender belum diadakan (tender nantinya dilaksanakan hanya formalitas). Padahal, menurut Perpres, tender proyek harus diumumkan terbuka di media massa baik cetak maupun elektronik. Bila tender pelelangan umum bersifat pascakualifikasi, Aanwijzing mengenai proyek tersebut dilakukan setelah proses pendaftaran penyedia jasa yang berminat. Namun, semua itu hanya menjadi "formalitas".
b. Ketika Pelaksanaan Konstruksi;
Penyedia jasa konstruksi haruslah patuh pada peraturan yang tertera pada Kontrak dan patuh pada RKS yang mereka buat sendiri. Namun, tidak sedikit yang tidak patuh dan mengabaikan isi kontrak dan mengerjakan proyek sesuai "pengalaman". Begitu saat pengecekan dilakukan oleh supervisor, tidak jarang supervisor ini "disumpal mulutnya" agar pekerjaan tetap dilanjutkan. Apabila nantinya penyedia jasa kekurangan dana untuk melajutkan pekerajaan, mereka biasanya menelantarkan proyek begitu saja sehingga sering disebut "kontraktor lari malam". Penyedia jasa konstruksi yang demikian biasanya sudah biasa mengerjakan proyek konstruksi asal-asalan, yang penting jaminan uang muka didapat. Bila perusahaannya masuk dalam "blacklist" pemerintah, dia hanya butuh mendirikan perusahan atau badan usaha baru atas nama kerabatnya dan ikut tender lagi. Di sini terlihat bagaimana lemahnya penegakan hukum bagi penyedia jasa khususnya personal.
c. Ketika Berhubungan Dengan Peraturan Lain;
Yang dimaksud di sini adalah adanya hunbungan konstruksi sipil yang dibangun dengan regulasi lainnya pada saat penggunaan dan pemanfaatannya. Saya mengambil contoh konstruksi Jalan, Jembatan, dan Rumah Sakit.
Pada konstruksi jalan misalnya, ada peraturan lalu lintas yang mengatur kita sebagai pengendara agar lalu lintas aman dan lancar. Konstruksi jalan sudah dibagi menurut jalur dan lajurnya, dihubungkan dengan simpang atau jembatan, dan ditambah dengan rambu-rambu serta marka dan beberapa fasilitas keselematan lainnya. Permasalahannya adalah, pengguna jalan (dalam hal ini pengendara yang memilki SIM) yang melanggar lampu lalu lintas, marka, dan rambu-rambu yang ada. Alasannya "kan gak ada polisi, kalau ditilang ya damai aja".
Pada konstruksi jembatan biasanya dilengkapi rambu mengenai batasan tonase atau maksimal beban sumbu kendaraan yang boleh melewati jembatan tersebut. Ada pula yang dilengkapi dengan rambu mengenai tipe jalan untuk jembatan tersebut (seperti kelas IIIB atau IIIC). Namun, yang biasa terjadi adalah truk-truk dengan muatan berlebih bebas melewati jembatan-jembatan yang saharusnya tidak dilewati oleh truk-truk dengan beratnya melebihi yang disyaratkan. Akibatnya, umur dari jembatan tersebut bisa saja berkurang dengan drastis atau bisa saja mbruk dengan seketika.
Pada konstruksi Rumah Sakit, biasanya terdapat konstruksi khusus untuk ruangan-ruangan tertentu, contohnya ruangan radiologi. Walaupun alat di ruangan radiologi tersebut telah diset agar aman pada proses penggunannya, namun seharusnya untuk ruangan radiologi ini memiliki desain khusus agar efek radiasi tidak meluas ke ruangan lainnya. Di sini terlihat bagaimana untuk pengerjaan konstruksi rumah sakit juga haru mengikuti standar yang ditetapkan untuk pengoperasian alat-alat kesehatan.


Dari berbagai uraian di atas, konsep Pengaturan pada PPT di dunia konstruksi masih dianggap kurang, mulai dari aspek regulasi, sanksi, dan penerapannya di lapangan. Sebagai contoh tambahan bagi renungan kita bersama, saya mengutip kata-kata dari Instruktur pada sebuah pelatihan tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Dia pernah bertanya kepada salah satu penyedia jasa "Mengapa perusahaan Bapak tidak menerapkan sistem manajemen K3? Apakah Bapak tidak takut nantinya bila dituntut karena ada kecelakaan kerja?" Penyedia jasa tadi menjawab "Untuk keselamatan kerja itu urusan masing-masing tukang/pekerja, kalau saya dituntut, dendanya kan cuma seratus ribu rupiah". Demikian untuk menjadi bahan pertimbangan kita semua. Untuk Konsep Teknik akan saya coba jelaskan di lain waktu. Silakan diberikan komentar atau sanggahan bila ada kesalahan. Terima Kasih

Related Post:

0 comments:

Post a Comment

Kritik, Saran, dan Komentar anda sangat kami butuhkan demi kemajuan blog ini, terima kasih telah berpartisipasi.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...