Sunday, January 27, 2013

Adakah Yang Salah Pada Konsep PPT atau E3 di Proyek Konstruksi Sipil? (Bag. 1)

Bagi yang berkecimpung di dunia Teknik Sipil (mengenai Traffic Safety), mungkin tidak asing dengan konsep PPT atau E3 pada proyek konstruksi sipil (walaupun mungkin ada yang tidak tahu). Pendidikan, Pengaturan (Pemaksaan), dan Teknik atau yang lebih dikenal dengan singkatan PPT adalah sebuah konsep dimana akan terciptanya keberhasilan suatu pekerjaan sipil baik dari segi konstruksi hingga pemanfaatannya. Konsep PPT ini sering juga dikenal dengan E3 (Education, Enforcement, Engineering). Bila konsep ini dilaksanakan dengan baik, maka Indonesia dapat sejajar dengan negara maju. Namun kenyataannya, walau konsep PPT ini hanya tinggal menjadi sebuah konsep, tidak ada implementasi yang real di masyarakat. Berikut beberapa ulasan saya mengapa konsep PPT ini saya rasa kurang berperan pada pembangunan di negara tercinta kita, Indonesia.

1. Pendidikan (Education)

Setiap komponen masyarakat yang terlibat pada proses pembangunan di suatu daerah, memiliki kualitas dan mutu pendidikan yang berbeda sesuai dengan jenjang pendidikan dan profesi. Tidak semuanya berlatar belakang pendidikan sebagai Insinyur atau sarjana teknik. Akan tetapi, banyak dari mereka yang "lebih paham" mengenai pengerjaan suatu proyek daripada sang Insinyur itu sendiri. Ini menjadi polemik dimana masyarakat yang bukan berlatar belakang pendidikan keteknikan "lebih menguasai" pekerjaan di lapangan dibandingkan lulusan SMK, STM, atau bahkan lulusan Universitas sekalipun yang telah bergelar Doktor. Lebih baik kita melihat beberapa permasalahan di bawah ini:
A. Apakah kualitas pendidikan teknik (khususnya teknik sipil) di negara kita kurang bermutu?
Jika melihat dari lembaga pendidikan teknik yang bersifat negeri maupun swasta, sepertinya dari akreditasi pada lembaga-lembaga pendidikan tersebut sudah baik. Baik dari segi materi pelajaran, ketersediaan bahan praktikum, pengajar yang Qualified, dan sarana-sarana penunjang lainnya sudah memadai.
B. Apakah kualitas lulusan dari lembaga pendidikan teknik (khususnya teknik sipil) di negara kita diragukan?
Sudah pasti para lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut sudah memenuhi syarat baik dari nilai dan kompetensi, jika tidak pastilah yang bersangkutan belum lulus atau tidak lulus. Baik dengan tingkat kompetensi yang berbeda-beda, namun para lulusan ini sudah mampu berkecimpung di dunia kerja.
C. Apakah selain lulusan lembaga pendidikan teknik (khususnya teknik sipil) di negara tidak berhak mengetahui atau hingga mengerjakan proyek sipil?
Tentu saja berhak. Namun demikian, biasanya orang-orang yang di luar lulusan lembaga pendidikan teknik terdapat di dalam posisi owner dari proyek, pimpinan perusahaan jasa konstruksi, dan beberapa pengambil kebijakan pada level pemerintahan.
D. Bila dari tiga hal di atas tidak ditemukan masalah pada Konsep Pendidikan (Edukasi), jadi dimana letak kesalahannya?
Berdasarkan dari beberapa pengamatan, saya mengelompokkan masalah pada Konsep Pendidikan ini pada:
1. Manusia, dalam arti personal.
Setiap manusia memiliki watak dan moral yang berbeda. Tidak semua manusia itu baik (walaupun manusia itu beragama, karena tidak ada agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kejahatan). Jadi tidak mungkin tidak ada manusia yang akan berlaku curang dalam proses mendapatkan apa yang ia inginkan. Saat ia menngecap di bangku pendidikan, tidak mustahil dia berlaku curang agar mendapatkan nilai yang tinggi. Begitu pula saat ia menjadi pengajar di institusi pendidikan, bisa jadi apa yang dia ajarkan tidak tepat dengan sasaran kurikulum tetapi memberikan nilai yang tinggi kepada anak didiknya agar dia dipandang memenuhi target dalam proses belajar mengajar dan tidak mau disalahkan bila ada yang mendapatkan nilai buruk. Bila orang yang tadi berlaku curang mulai dari bangku sekolah, bukan hal yang mustahil ia akan berlaku curang saat duduk mengemban amanah. Maka manusia seperti ini yang merusak proses Pendidikan(Edukasi) dan jumlahnya tidak sedikit.
2. Adat Kebudayaan/Kebiasaan
Masyarakat Indonesia yang sangat bangga dengan adat kebudayaan atau kebiasaannya terbilang susah untuk menerima konsep/inovasi baru yang lebih mutakhir dalam segi teknologi dan ramah lingkungan. Bukan hanya dapat bertentangan dengan adat kebudayaan, bahkan bila sudah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat setempat, seseorang ataupun bahkan pemerintah tidak mudah untuk mengubahnya. Sebagai contoh yang dekat dengan kehidupan kita, misalnya pada saat hendak membangun rumah. Warga Aceh pada umumnya walaupun kini sebagian besar tidak lagi membangun rumah atau bangunan lainnya dengan tipe rumah adat yang menggunakan bahan dasar kayu, akan tetapi mereka tidak dapat menerima bahan bangunan untuk dinding selain batu bata atau bata merah. Padahal, di Fakultas Teknik UNSYIAH telah mengadakan banyak penelitian dan berhasil menemukan bahan pengganti batu bata atau bata merah atau bahan tambahan campuran yang lebih murah, ringan, dan mudah. Bahkan beberapa penelitian tersebut melibatkan beberapa dosen yang sudah bertitel Doktor. Contoh lainnya dalam hal material bangunan, seperti di pedalaman Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan, mereka lebih memilih tetap menggunakan material dari kayu hingga jerami untuk mendirikan rumah mereka dibandingkan mendirikan rumah permanen dari beton.
Di sisi lainnya, mengenai kebiasaan dalam hal pengerjaan proyek pun, "pengalaman" lebih diutamakan dibandingkan hitung-hitungan dari segi keamanan. Sebagai contoh, saya pernah bertanya kepada seorang tukang pada saat ia merangkai sengkang pekerjaan pembesian tulangan. Mengapa pada gambar tertera jarak antar sengkang adalah 10 cm, sedangkan Bapak memasangnya dengan jarak 15 cm? Tukang itu menjawab dengan santai, "Biar hemat, selama saya bekerja, saya selalu memasang dengan jarak 15 cm, toh gak pernah ambruk." Senada dengan tukang tadi, saya juga pernah mendengar pengakuan dari salah seorang dosen Teknik Sipil di Aceh yang mempertanyakan kepada seorang Kontraktor mengapa ukuran sloof lebih kecil dibandingkan ukuran kolom pada pengerjaan bangunan kelas berlantai dua? Bukankah itu berbahaya mengingat Aceh kini sering terjadi Gempa? Kontraktor tersebut dengan percaya diri menjawab "Hampir setengah bangunan ruko di Banda Aceh ini sebelum gempa besar kami yang kerjakan dan selalu desainnya begini, sewaktu gempa tahun 2004 kemarin saja tidak rubuh". Lagi-lagi kebiasaan dalam pengerjaan proyek mengalahkan kalkulasi ilmiah. Seorang kontraktor dengan kebiasaan dan "pengalaman"nya dapat mengalahkan argumen seorang dosen yang bergelar Doktor dari luar negeri. Bila banyak dari pelaksana proyek fisik yang beranggapan sama dengan kontraktor di atas, tidak mustahil kualitas dari produk konstruksi mereka agak diragukan. Namun demikian, entah kenapa cara berpikir seperti ini sangat sering digunakan di Indonesia.
3. Sistem
Berbicara mengenai sistem, hubungannya dengan konsep Pendidikan adalah mengenai sistem proses belajar mengajar, kurikulum, dan penyuluhan. Pada proses belajar mengajar, umumnya di Indonesia guru dan dosen kerap menjadi "Dewa" dikarenakan kebanyakan murid dan mahasiswa lebih takut mendapat nilai rendah daripada aktif dan kritis di saat proses belajar mengajar. Tidak jarang siswa dan mahasiswa menjadi korban keegoisan guru atau dosen. Contohnya, seorang mahasiswa lebih suka bila dosen tidak masuk karena ada urusan pribadi tetapi dosen tersebut mengijinkan untuk mengisi absensi. Padahal tugas utama dosen (apa lagi di Universitas Negeri, dosen berstatus PNS) adalah mengajar, bukan mencari penghidupan di luar kampus yang bayarannya lebih besar. Para mahasiswa berpikir dengan mengisi absensi maka mereka setidaknya mendapat nilai kehadiran, ditambah dengan harapan dosen yang bersangkutan nantinya akan memberi nilai yang bagus juga karena telah "bekerja sama". Dosennya dianggap memenuhi target perkuliahan, para mahasiswa dapat nilainya bagus-bagus.
Mengenai kurikulum, setiap institusi atau lembaga pendidikan memiliki kurikulum yang berbeda, walau tujuan akhirnya tetap sama. Bila merujuk pada kurikulum, pasti ada target yang dicapai, misalnya mahasiswa pada akhirnya memiliki kemampuan seperti yang diharapkan atau dituliskan di kurikulum tersebut. Permasalahannya adalah "Apakah target kurikulum itu selalu tercapai?" Kalau iya, pasti lulusannya sangat berkompetensi sesuai bidangnya. Kalau tidak, tapi tetap ada lulusannya, ini masalahnya.
Berbicara penyuluhan, tidak semua orang mengerti apa yang mereka hadapi pada saat pembangunan di daerah. Mulai dari masyarakat awam, mereka hanya menganggap bahwa banyak pembangunan di daerah mereka, berarti daerah mereka semakin maju. Akan tetapi, pada kenyataanya, mereka tidak diberi pengetahuan secara gamblang mengenai pembangunan tersebut, seperti dari dampak ekonomi, sosial, politik, hingga dampak lingkungan. Banyak proyek yang terbengkalai karena tidak ada tindak lanjut, pemeliharaan, dan pemanfaatan yang maksimal dari warga sekitar. Tidak sedikit juga proyek baik yg terbengkalai maupun tidak memiliki dampak kerusakan lingkungan yang tinggi, tetapi warga baru menyadarinya ketika bencana tiba. Seharusnya pihak terkait dalam hal ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum, bekerja sama dengan Bapedal, Dinas Tata Kota, dan Pemda setempat, memberikan penyuluhan bagi warga, memberikan pelatihan kompetensi bagi pelaksana pekerjaan, dan memberikan pelatihan perencaanan bagi perencana. Kenyataannya, penyuluhan dan pelatihan tersebut hanya diberikan kepada segelintir kelompok dan dampak lingkungan hanya dari aspek ekologi saja yang diumumkan di media massa (itupun kalau ada).

Pembahasan mengenai Pengaturan(pemaksaan) dan Teknik akan diposting di lain waktu.

Related Post:

2 comments:

Unknown said...

masih belum paham, apakah ini diterapkan di Konsultan apa di Kontraktor..

secara saya kerja di konssultan struktur, istilahnya lain kali yak? bukan E3 atau PPT.

atadroe88 said...

Sejatinya Konsep E3 atau 3E ini adalah konsep dimana cara untuk mengurangi resiko kecelakaan dan upaya meningkatkan keselamatan jalan. Tetapi, setelah saya ingin mengaitkan konsep E3 ini secara luas di bidang teknik sipil, bukan hanya terfokus di transportasi saja. Buat apa kalo kita sebagai engineer merancang dan membangun suatu produk konstruksi dengan mengesampingkan kualitas dari produk tersebut. Karena akhir-akhir ini banyak kasus kegagalan konstruksi yang berakibat kecelakaan kerja atau kecelakaan/musibah yang ditimpa masyarakat akibat gagal konstruksi/mengabaikan peraturan atau ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh: di bidang struktur, pada saat perencaanan strukturalnya sudah benar, saat pekerjaan di lapangan kontraktor mengganti material dengan kualitas dengan mutu rendah. Bisa jadi saat PHO saja kondisi bangunan tersebut sudah banyak yang rusak dan tidak layak digunakan. Bila tetap dipaksakan, masyarakat awam yang tidak mengerti akan jadi korban. Maka saya mencoba mengurai konsep E3 ini secara global dalam dunia engineering. Apakah terjadi masalah di saat engineer semasa menuntut pendidikan, apakah engineer melaksanakan pekerjaan sesuai aturan? atau engineer mendesain dengan asal-asalan? Yang jadi korban kan bisa saja saudara atau teman anda. Moga2 bisa dipahami

Post a Comment

Kritik, Saran, dan Komentar anda sangat kami butuhkan demi kemajuan blog ini, terima kasih telah berpartisipasi.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...