Monday, January 7, 2013

Masih Perlukah Peraturan Lalu Lintas di Aceh????

Pada tahun 2012 yang lalu, tercatat 723 orang tewas akibat kecelakaan lalulintas di Aceh. Seperti yang dikutip obornews.com, dari data di Kepolisian Daerah Aceh, di tahun 2012, tercatat telah terjadi sekitar 1.413 kecelakaan lalulintas yang terjadi di semua wilayah di Provinsi Aceh. Dari jumlah kecelakaan itu, 723 pengendara tewas sedangkan 846 mengalami luka berat dan 1.335 menderita luka ringan. Jumlah korban jiwa dalam kecalakaan lalulintas di Aceh didominasi pengendara dan penumpang kendaraan bermotor roda dua. Baik itu kecelakaan tunggal, kecelakaan berat ataupun kecelakaan beruntun. Kecelakaan lalulintas disebabkan berbagai faktor, di antaranya kelalaian pengendara, kondisi kendaraan, infrastruktur jalan serta kondisi cuaca di lokasi kecelakaan. Namun, yang paling menonjol adalah akibat adanya kelalaian berkendara.

Bila merujuk dari sepenggal fakta di atas, dibandingkan dengan faktor kondisi kendaraan dan infrastruktur jalan, faktor masyarakat di Provinsi Aceh sendiri yang lalai saat berkendara menjadi faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan. Apa yang salah dengan masyarakat Aceh hingga terjadi kelalaian dalam berkendara? Mari kita bahas mengapa bisa kelalaian masyarakat menjadi faktor utama penyebab kecelakaan di Provinsi Aceh.
1. Apakah seluruh pengendara kendaraan bermotor (khususnya warga Aceh) sudah memilki Surat Izin Mengemudi atau SIM? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Mengapa demikian? Jawaban iya, karena syarat mutlak pengendara kendaraan bermotor adalah memiliki SIM. Jawaban tidak, karena untuk memperoleh SIM, seseorang harus memiliki KTP dan sudah berusia lebih dari 17 tahun. Sedangkan bisa kita jumpai, mungkin saudara atau bahkan anda sendiri yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menggunakan sepeda motor baik untuk berangkat ke sekolah maupun kegiatan lainnya.
Pengendara Di Bawah Umur

2. Apakah seluruh warga Provinsi Aceh mengikuti seluruh rangakaian prosedur dalam pembuatan SIM? Untuk memperoleh SIM, seseorang diwajibkan mengikuti serangkaian test, di samping kelengkapan administrasi. Apakah semuanya mengikuti sesuai prosedur? Jawabannya "jikalau bisa selesai lebih cepat, kenapa harus nunggu lama?"
3. Apakah seluruh pengguna kendaraan di Provinsi Aceh mengetahui simbol-simbol atau petunjuk mengenai peraturan lalu lintas?
Tentu saja tidak. Sebagian besar dari warga Aceh tidak tahu apa itu marka jalan (apa lagi jenis-jenisnya), mereka hanya tahu beberapa arti dari rambu-rambu lalu lintas (tapi cuek aja selagi tidak kena tilang), dan Lampu Lalu Lintas itu mereka anggap cuma lampu hiasan tiga warna di persimpangan jalan. Saat lampu hijau boleh jalan dengan kecepatan normal, saat lampu kuning sudah mulai tancap gas, begitu lampu merah, "mumpung belom lama merahnya, makin tancap gas".
4. Dengan jumlah angka kecelakaan yang tinggi, apakah memiliki efek jera? Sangat pasti jawabannya tidak. Sebelum mereka merasakan kecelakaan itu sendiri, apa lagi kalau kecelakaannya hanya kategori ringan, mereka tetap akan cuek dan berkendara seenak hati mereka saja (toh orang Aceh selalu merasa beruntung, "untuk cuma lecet, untung cuma tergores, untung cuma patah kaki, dan untung-untung lainnya sampai-sampai untung masih hidup).
5. Apakah orang Aceh tidak memiliki kesadaran agar mengutamakan keselamatan dan tertib berkendara? Ada, tapi sangat-sangat sedikit. Buktinya, susah pakai helm dan memasang dua kaca spion kalau tidak ada peraturan bila tidak memasangnyanya maka akan di denda dengan jumlah yang besar. Padahal, jikalau kita tertib dan taat peraturan, angka kecelakaan di Aceh tidak mungkin sebesar itu (walau takdir ALLAH SWT tidak ada yang tahu).
6. Apakah aparat yang berwenang tidak melakukan sesuatu untuk menurunkan angka kecelakaan ini? Pasti ada, cuma..... ya tahu sendiri lah. Baru-baru ini ada semboyan "menjadi pelopor keselamatan lalu lintas". Itu aparat kasih semboyan buat siapa? Hal ini tidak ada gunanya dibahas lebih panjang lagi, karena aparat kepolisian itu cuma terlihat saat razia, pagi dan sore hari saat volume arus lalu lintas tinggi (walau cuma 1 atau 2 yang mengatur arus, sisanya nongkrong di pos jaga pada persimpangan atau di mobilnya), saat ada tamu penting (voorijder dengan angkuhnya membuka jalan buat tamu, walau nembus Lampu Lalu Lintas), dan saat berangkat dan pulangnya Kapolda (standby di setiap simpang jalan dari dan menuju rumah dinas).
7. Apa yang sebenarnya ditakuti oleh pengendara kendaraan bermotor? Ingat, yang ditakuti, itu adalah razia dan tilang. Kalau tidak ada kelengkapan surat-surat saat razia resmi, silakan menuju pengadilan. Kalau tidak resmi, "damai".
8. Menurut survei salah satu LSM, Aceh menduduki posisi kedua Provinsi terkorup di Indonesia. Apa hubungannya? Menurut saya, wajar. Pernah saya mendengar ungkapan "prilaku seseorang sebenarnya tercermin saat ia berada sedang di jalan, baik berkendara atau berjalan kaki". Di jalan saja pada saat di persimpangan yang ada lampu lalu lintas, orang Aceh sering "curi start" pada saat menjelang lampu hijau dan sering menerobos lampu merah. Padahal, bila kita dalam posisi lampu merah, maka ada hak orang lain pada lengan simpang lainnya yang hendak melanjutkan perjalanan, baik itu lurus atau memotong jalan. Nah, bila kita yang "curi start" atau yang menerobos lampu merah tadi sama saja mengambil hak orang lain. Mengambil hak orang lain juga sama dengan maling. Maling sama dengan koruptor. Jadi orang tidak mematuhi lampu lalu lintas sama saja dengan koruptor.
Di mana-mana saat ini diteriakkan agar koruptor dihukum mati atau seberat-beratnya. Bercermin pada ungkapan di atas, masih berani? Kalau dibilang maling cuma merugikan 1 orang atau hanya sebagian kecil masyarakat, nah kalau melanggar lampu lalu lintas itu sangat merugikan orang banyak dan bahkan bisa mengakibatkan kehilangan nyawa di kedua belah pihak.Kalau (menurut saya) jika ditotal-total tiap hari melanggar lalu lintas dosanya kan sama dengan dosa koruptor yang melarikan uang rakyat dengan sekejap. Jadi jangan heran kalau Provinsi Aceh nomor 2 se-Indonesia, pemerintahnya aja begitu apa lagi warganya. Masih berani teriak koruptor harus dihukum mati?
9. Sebagian warga Aceh pernah ke luar negeri, yang paling sering ke Penang (untuk berobat), tapi kenapa di sana semuanya patuh-patuh dengan peraturan di sana? Jawabannya, "di sana kan beda, kalau ketangkep, bisa dipenjara lama, dicambuk, atau dendanya tinggi". Di sana kalau nyebrang saja, harus ikut lampu lalu lintas, konon lagi cuma buang puntung rokok sembarangan (denda 500 ringgit untuk satu puntung rokok yang kedapatan dibuang sembarangan).


Dari beberapa ulasan di atas (berharap itu banyak yang keliru), saya bisa menyimpulkan bahwa di Provinsi Aceh ini tidak diperlukannya peraturan dalam hal berlalu lintas. Buat apa dibuat peraturan sebanyak-banyaknya, toh baik yang sudah memiliki SIM dan baik yang tidak sama-sama cuek dengan peraturan lalu lintas (yang penting "aman" saat razia), kesadaran untuk mengutamakan keselamatan saja minim, ditambah aparatnya "yang sama-sama tahu lah gimana". Bila ada yang keliru dari tulisan ini, mohon diluruskan. Mohon maaf bila ada salah-salah kata dan penulisan, Terima Kasih.

Related Post:

0 comments:

Post a Comment

Kritik, Saran, dan Komentar anda sangat kami butuhkan demi kemajuan blog ini, terima kasih telah berpartisipasi.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...