Pada sekitar abad 18 dan 19 itu Belanda sedang melancarkan aksi untuk memperluas daerah kolonialnya di Indonesia, tidak terkecuali di daratan Aceh. Namun, kian banyak peran senjata api semasa pergolakan menentang Belanda pada abad ke 18 dan 19 membuat beragam senjata api banyak beredar di tangan sejumlah kelompok perlawanan. Sayang, penggunaannya belum maksimal mengingat kesulitan kelompok perlawanan memperoleh amunisinya. Terbukti dari uraian dalam laporan kematian para perwira pasukan kolonial Hindia Belanda yang kebanyakan tewas akibat senjata tajam atau tembakan jarak dekat.
Mayjen J.H.R Kohler |
Mayjen J.H.R Kohler adalah pemimpin ekspedisi pertama penyerangan Belanda terhadap Aceh. Tepatnya 6 April 1873, pasukan Kohler memasuki Aceh melalui pantai Ceureumen, Ulee Lheue. Perang Aceh I yang dipimpin oleh Jenderal Kohler sebenarnya cukup sukses dengan berhasil mencaplok Mesjid kebanggaan rakyat Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Namun pada tanggal 14 April 1873 ketika sang jenderal sedang menginspeksi saat situasi sedang lengang hendak beristirahat di bawah sebuah pohon di sekitar dari masjid, tiba-tiba seorang penembak bangsa Aceh dalam posisi merunduk melepaskan tembakan dari jarak 100 meter dan mengenai jantung sang jenderal (Sumber lain mengatakan bahwa tembakan mengenai tepat di kepalanya sehingga membuat Kohler tewas seketika). Seketika itu juga si penembak diberondong tembakan oleh tentara Belanda, ternyata pelaku penembakan Kohler diketahui seorang remaja Laskar Aceh berusia 19 tahun yang bersembunyi di reruntuhan masjid.
O God. Ik ben getroven (Oh Tuhan aku telah kena)," seru Mayor Jenderal J.H.R Kohler ketika peluru seorang penembak jitu Aceh menembus dadanya. Kohler menghembuskan napas terakhirnya tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada 14 April 1873. Ia tak menyangka kematian menjemputnya secepat itu, hanya berselang beberapa hari sejak pendaratannya di Aceh.
Beberapa saat kemudian sang jenderal itu tewas. Peristiwa tersebut tentu mengejutkan para pasukan kompeni ini dan akhirnya sang pahlawan si pembunuh jenderal itu gugur diberondong peluru oleh pasukan kompeni. Pohon geulumpang atau kelumpang (sterculia foetida) masih tumbuh di dekat gerbang kiri Masjid Raya sebagai penanda tempat Kohler tertembak. Orang Belanda menyebut pohon itu Kohlerboom atau pohon Kohler.
Setelah Kohler gugur, jasadnya di bawa ke Batavia (sekarang Jakarta) melalui Ulee Lheue. Ia dikuburkan di daerah Tanah Abang. Rencana pengembangan kota oleh pemerintah kota Jakarta membuat kuburannya tergusur. Pada 19 Mei 1978, abu dan nisannya di-pindahkan ke Kerkhof atas permintaan gubernur Aceh saat itu, A. Muzakir Walad. Setelah berselang 105 tahun dari waktu kematian-nya, Kohler pun kembali lagi ke Aceh.
Kini makam Kohler berada di bagian depan Peutjut Kerkhoff atau Permakaman Peutjut atau lebih dikenal dengan sebutan Kerkoff. Empat bintang emas menghiasi setiap sisi nisan Kohler. Pada nisan itu tercetak kalimat "herbecraven op (dikuburkan kembali pada) 19 Mei 1978". Lambang seekor ular menggigit ekornya terpahat di bawah nisan. Namun belum ada teks sejarah yang menjelaskan arti gambar ular tersebut. Tetapi di beberapa artikel menyebutkan bahwa gambar ular tersebut adalah Ourobros. Ouroboros (atau Uroborus) adalah sebuah simbol kuno yang menggambarkan seekor ular atau naga yang memakan ekornya sendiri. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani;. Οὐρά (Oura) yang berarti “ekor” dan βόρος (Boros) yang berarti “makan”. Simbol Ouroboros juga terdapat di simbol Freemansory. Wallahualam Bisawab.
Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3
Sumber 4
1 comments:
Setidaknya kita punya "Simo Haya produksi lokal",
bangga Mode is on
moga jasa2 para pahlawan yang syahid diterima di sisi Allah
Post a Comment
Kritik, Saran, dan Komentar anda sangat kami butuhkan demi kemajuan blog ini, terima kasih telah berpartisipasi.